Perkembangan konsepsi islam dan pluralitas respon muslim terhadap isu HAM dan Demokrasi
Demokrasi dianggap bukan lagi sebagai ajaran yang dianut oleh Barat,
dalam setengah abad terakhir, demokrasi dalam pengertian modern telah
memperoleh kekuatan hampir universal sebagai ide politik, sebagai sebuah
inspirasi dan sebuah ideologi. Di dunia islam, khususnya di Timur
Tengah, ide-ide demokrasi dikenal awalnya lewat kolonialisme barat-yang
ditandai dengan pendudukan Napoleon di Mesir-dan jalur pengiriman
mahasiswa muslim ke Eropa dan Amerika Serikat. Lalu, belakangan isu
demokratisasi mencuat seirung dengan gencarnya gelombang demokratisasi
di Uni Soviet, Eropa Timur, dan sesudah terjadinya pergolakan politik di
Aljazair tahun 1992.
Sebenarnya sejak perang dingin berakhir, dan Amerika Serikat beserta
sekutunya keluar sebagai pemenang, demokrasi menjadi sebuah icon.
Demokrasi ini dirasa menjadi bersifat hegemonik, yang berarti tidak ada
satupun negara yang berani berbeda dengan demokrasi. Negara akhirnya
berlomba, walaupun hanya pada tingkatan retorik, untuk menyebut pihaknya
demokratis. Ditengah-tengah proses tersebut, pada mulanya dunia islam
tidak menjadi bagian. Banyak buku dan jurnal yang menulis tentang
transisi demokrasi di Amerika Latin, Eropa Selatan, Afrika, dan Asia,
namun dengan sengaja sejumlah ahli tidak melibatkan dunia islam. Karena
menurut para ahli tersebut, dunia islam tidak mempunyai prospek untuk
menjadi demokratis serta tidak mempunyai pengalaman demokrasi yang
cukup. Pandangan tersebut juga diutarakan oleh Samuel P. Huntington
dalam bukunya, The Third Wave, selain konfusianisme, Huntington
meragukan bahwa ajaran islam sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Namun, tidak dipungkiri bahwa, konsep-konsep mengenai demokrasi kemudian
menjadi isu sentral dalam setiap sendi pemaknaan agama dan praktek
bernegara. Memang muncul beragam respon, ada yang pro dan ada yang
kontra, mereka yang menerima demokrasi umumnya menurut Jalaluddin Rahmat
karena demokrasi bukan saja tidak bertentangan dengan Islam, tetapi
bahkan mewujudkan ajaran islam dalam kehidupan bernegara. Terdapat tiga
aliran pemikiran, yaitu aliran yang menerima sepenuhnya, yang menolak,
dan yang menyetujui prinsip-prinsipnya tetapi dipihak lain mengakui
adanya perbedaan.
Bagi kalangan yang menerima sepenuhnya, demokrasi dianggap bukan sebagai
suatu problem yang harus dipermasalahkan. Al-Aqqad misalnya, melihat
bahwa dalam sejarah pemikiran, demokrasi dicanangkan pertama kali oleh
islam. Karena itu islam didalam dirinya demokratis. Menurut Yusuf
al-Qardhawi, substansi demokrasi sejalan dengan islam, karena Al-Qur’an
dan demokrasi sama-sama menolak diktatorisme.
Namun juga ada yang menolaknya, mereka menolak demokrasi karena
persoalan teologis, karena menurut mereka, demokrasi merupakan sebuah
ancaman. Yang berpandangan seperti ini misalnya adalah, Syeh Fadhallah
Nuri dan Thabathabai dari Iran, Sayyid Quthub dari Mesir, Ali Bendhaj
dari Aljazair, dan Abd al-Qadim Zallum pendiri Hizbut Tahrir.
Bagi Syeh Fadhallah Nuri, persamaan semua warga negara dianggap tidak
mungkin, bagi Sayyid Quthub, demokrasi merupakan suatu bentuk tirani
sebagian orang kepada orang lainnya. dan bagi Thabathabai, islam dan
demokrasi tidak dapat dirujukkan, ia mengutip ayat al-Mu’minun: 70-71,
oleh karena itu menurutnya salah apabila menganggap tuntutan mayoritas
selalu adil dan mengikat.
Selanjutnya, pemikir yang menyetujui adanya prinsip-prinsip demokrasi
dalam islam, tetapi dilain pihak mengakui adanya perbedaan diantara
keduanya, asumsinya berangkat dari doktrin kedaulatan Tuhan dalam bentuk
syari’at (hukum Tuhan) yang membatasi kedaulatan rakyat. Dalam
pandangan Abul ‘Ala al-Maududi, ada kemiripan wawasan antara demokrasi
dan islam. Alasannya, karena islam memiliki wawasan yang hampir sama,
seperti keadilan dalam surat asy-Syura: 15, persamaan QS. al-Hujurat:
13, akuntabilitas pemerintahan QS. an-Nisa: 58, musyawarah QS.
asy-Syura:38, tujuan negara QS. al-Hajj: 4, dan hak-hak oposisi QS.
al-Ahzab:70, an-Nisa: 35, at-Taubah: 67-71. Namun perbedaannya terletak
pada kenyataan bahwa kalau dalam sistem politik barat, suatu negara
demokratis menikmati hak-hak kedaulatan mutlak, maka dalam demokrasi
islam, kekhilafahan ditetapkan untuk dibatasi oleh batas-batas yang
telah digariskan oleh hukum ilahi. Dalam hal ini al-Maududi menyebut
sistem pemerintahannya sebagai ‘Teo-Demokrasi’.
Selanjutnya mengenai HAM, wacana awal HAM di Eropa dimulai dengan
lahirnya Magna Charta yang membatasi kekuasaan absolut para penguasa
atau raja-raja. Lalu dilanjutkan dengan adanya deklarasi Perancis tahun
1978 yang memuat aturan hukum yang menjamin hak asasi manusia dalam
proses hukum dan tiga tahun kemudian dalam konferensi buruh
internasional di Philadelphia, Amerika Serikat, dihasilkan sebuah
deklarasi HAM. Hak-hak yang dimuat dalam deklarasi itu kemudian
dijadikan dasar perumusan Deklarasi Universal HAM (DUHAM) yang
dikukuhkan oleh PBB dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR)
pada 1948.
Namun, menurut para ahli islam, wacana HAM dalam islam jauh lebih awal
dibandingkan dengan konsep HAM yang muncul di Barat. Menurut mereka,
islam datang dengan membawa pesan universal HAM. Tonggak sejarah
peradaban islam sebagai agama HAM adalah lahirnya deklarasi Nabi
Muhammad di Madinah yang biasa dikenal dengan Piagam Madinah. Terdapat
dua prinsip pokok HAM dalam Piagam Madinah. Pertama, semua pemeluk islam
adalah satu umat walaupun mereka berbeda suku bangsa. Kedua, hubungan
antara komunitas muslim dengan nonmuslim didasarkan pada
prinsip-prrinsip: 1. Berinteraksi secara baik dengan sesama tetangga, 2.
Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, 3. Membela mereka yang
teraniaya, 4. Saling menasihati, 5. Menghormati kebebasan beragama.
Pandangan inklusif kemanusiaan Piagam Madinah kemudian menjadi semangat
deklarasi HAM Islam di Kairo, deklarasi ini dikenal dengan nama
deklarasi Kairo yang lahir pada 5 Agustus 1990.
Selain itu, pandangan didalam Islam, yang menghormati aspek kemanusiaan
dan juga kesemestaan pada QS. al-Anbiaya: 107, dan juga pandangan Islam
yang membebaskan manusia dari kezaliman menuju pada keadilan kemanusiaan
QS. Ibrahim: 1 menegaskan posisi HAM dalam Islam. Karena semua hal
itu, HAM yang diperkenalkan Barat ke dunia Islam pada masa modern,
secara umum diterima oleh masyarakat Islam sebagai bagian dari ajaran
islam itu sendiri.
Namun menurut Ann Elizabeth Mayer , memang sebelumnya ada upaya oleh
pemerintah-pemerintah muslim untuk men-justify penolakannya terhadap
international human rights namun hal ini menjadi paradoks, karena
pemerintah-pemerintah itu sudah mengindikasikan penerimaan mereka
terhadap hukum internasional. Karena ketika negara-negara muslim ikut
serta dalam international community of nations yang dibentuk oleh PBB,
mereka secara tidak langsung terikat dengan hukum internasional.
Negara-negara muslim ini juga berkontribusi terhadap pembentukan hukum
publik internasional dalam kapasitasnya bekerja dengan negara lainnya di
PBB dan meratifikasi perjanjian-perjanjian serta konvensi. Beberapa
negara-negara muslim yang menjadi founding members PBB mereka
berpatisipasi dalam memutuskan UN Charter dimana dalam artikel 1,
anggota berkomitmen dalam mempromosikan dan mendorong HAM. Selain itu
negara-negara islam juga pernah bekerja dalam men-draft UDHR tahun 1948.
Isu-isu HAM dan demokrasi yang berkaitan dengan dunia islam
Terdapat beberapa contoh fakta isu HAM dan demokrasi yang berkaitan
dengan dunia islam. Diantaranya mengenai kudeta militer yang terjadi di
Mesir pada awal Juli lalu. Kudeta di Mesir ini terjadi pada abad ke-20,
saat demokrasi diklaim sebagai sistem terbaik untuk tatanan dunia saat
ini. Presiden Muhammad Mursi yang terpilih secara sah dalam pemilu
demokratis sepanjang sejarah Mesir dilengserkan militer pimpinan
Jenderal Abdul Fatah as-Sisi. Terkait pelengseran itu, banyak
masyarakat pendukung Mursi turun ke jalan dan melancarkan aksi protes
terhdap militer yang telah melengserkan Presiden Mursi yang dipilih
secara sah melalui pemilu itu, aksi protes dan demonstrasi besar-besaran
itu tidak jarang berbuntut kekerasan yang dilakukan oleh militer Mesir,
dan juga sampai saat ini sudah banyak aksi penahanan yang dilakukan
oleh militer Mesir terhadap pendukung Ikhwanul Muslimin. Tidak hanya
itu, seperti apa yang dilansir oleh berita RMOL, aliansi Anti-Kudeta
yang ditahan oleh militer itu dibunuh didalam truk dengan peluru tajam
dan gas air mata yang ditembakkan dari jendela, insiden itu terjadi
ketika tahanan itu sedang dipindahkan. Oleh karena itu banyak institusi
dari negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim seperti Indonesia,
menyuarakan, pelanggaran HAM yang terjadi di Mesir dan sudah
berlarut-larut ini harus diusut ke Internasional.
Tidak hanya Indonesia, masyarakat internasional juga banyak yang sudah
memprotes aksi militer ini, menurut mereka tindakan yang dilakukan oleh
militer ini sudah mencederai demokrasi dan juga sekaligus telah banyak
melakukan pelanggaran HAM dengan banyak menewaskan warga sipil pendukung
Presiden Mursi.
Dalam situs berita online Tempo, juga mengatakan bahwa dalam setahun
kepemimpinan Mursi diwarnai banyak aksi pelanggaran Hak Asasi Manusia,
demokrasi dan toleransi beragama. Ketika polisi Mesir terlibat
pembantaian di Port Said, Januari 2013 lalu dan 30 orang meninggal,
Mursi dinilai tidak berusaha menindak pelakunya dengan tegas. Serangan
terhadap gereja Kristen Koptik dan kaum minoritas pun meningkat.
Selain itu, parlemen Mesir yang didominasi Ikhwanul Muslimin dinilai
berusaha terus menerbitkan undang-undang baru yang membatasi masyarakat
sipil. Sebuah Rancangan UU tentang keberadaan NGO sedang dibahas dan
disebut-sebut bakal mengontrol organisasi masyarakat sipil. Semua faktor
ini bersama-sama membuat gelombang anti Mursi terus menguat. Terlebih
setelah sebuah gerakan populer yang menamakan dirinya `Tamarod` muncul
pada awal tahun ini dan menggulirkan petisi untuk menggulingkan Mursi.
Isu HAM dan demokrasi yang lain adalah mengenai pergolakan di Bahrain.
Bahrain yang merupakan negara dengan pemerintahan yang dipegang oleh
Sunni dalam kurang lebih dua tahun ini mengalami pergolakan yang
berdarah, selain itu, aksi pemerintah dalam menghadapi demonstran
pro-demokrasi Syiah itu disebut-sebut telah melakukan pelanggaran HAM.
Pergolakan di Bahrain dimulai pada Februari 2011 silam. Awalnya para
demonstran menyerukan reformasi politik. Namun kemudian massa
demonstran secara terang-terangan menuntut turunnya Raja Bahrain Hamad
bin Isa Al-Khalifa dan berakhirnya dinasti Al-Khalifa menyusul tindak
kekerasan yang dilakukan aparat keamanan Bahrain terhadap para
demonstran. Selain itu, para demonstran juga menyerukan reformasi
konstitusional dan menuntut pemilu yang bebas. Telah banyak korban yang
jatuh di Bahrain selama pergolakan ini, dalam berita online antaranews
yang diterbitkan tahun 2011 , dikatakan bahwa pada permulaan gelombang
proses anti-pemerintah selama Februari dan Maret telah menewaskan 33
orang dan lebih dari 400 lainnya terluka.
Namun, tidak sedikit yang menyebut bahwa pergolakan yang terjadi di
Bahrain adalah semata-mata bentrokan antara kaum minoritas Sunni yang
berdiri di pemerintahan dan kaum mayoritas Syiah yang berada di posisi
masyarakat. Dalam Islam Times , Sheikh Ali Salman yang merupakan ketua
partai al-Wefaq Bahrain mematahkan argumen itu, menurutnya, rakyat
Bahrain dari semua lapisan masyarakat menyerukan sebuah pemerintahan
demokratis, dan pergolakan ini merupakan bagian dari revolusi Arab.
Bentrokan-bentrokan yang terjadi menurutnya adalah bentrokan yang murni
antara kediktatoran dan orang-orang yang menuntut pemerintahan yang
demokratis.
Setelah dua tahun lamanya pergolakan yang terjadi di Bahrain, semakin
banyak pula korban yang berjatuhan dikalangan para demonstran. Tidak
hanya penahanan para demonstran, tetapi juga terdapat insiden penyerbuan
rumah, penyiksaan sistematis di gedung-gedung milik pemerintah seperti
pemukulan, kejutan listrik, dan bahkan pelecehan seksual. Bahkan Pada 9
September 2013, Komisioner Tinggi HAM PBB, Navi mengatakan di depan
Dewan HAM PBB bahwa dirinya frustrasi akan laporan-laporan pelanggaran
HAM di kerajaan (Bahrain) itu. Namun, para pengunjuk rasa itu tidak
akan berhenti melancarkan aksinya sampai pemerintahan yang terpilih
secara demokratis terwujud dan pelanggaran hak asasi manusia berakhir di
Bahrain.
Peran dan dinamika civil society islam dalam isu demokrasi dan HAM serta
kontribusi dan keterbatasan network internasional dari civil society
islam dalam isu HAM dan Demokrasi.
Dr.Tahereh Nazari, seorang Direktur Bidang Internasional Komisi HAM
Republlik Islam Iran dalam jurnal Peran Kaum Muslimah di Tengah
Masyarakat Dunia menyebutkan bahwa kaum perempuan Muslim telah melakukan
beberapa sumbangsih yang berhasil dirumuskan sebagai berikut:
1.Penguatan berbagai macam kebijakan yang terkait dengan pengokohan fondasi keluarga.
2.Pengikisan akar-akar kemiskinan khususnya kemiskinan yang menimpa kaum
perempuan dan anak-anak. Hal ini bisa dilakukan melalui kebersamaan
negara-negara muslim dalam pengiriman bantuan kemanusiaan kepada
negara-negara Muslim yang dilanda kemiskinan dan kelaparan. Langkah
lainnya terkait masalah ini adalah mengkritisi bangunan ekonomi dunia
yang telah menciptakan ketidakadilan di tengah-tengah masyarakat.
3.Dijauhkannya wacana hak asasi manusia dari kepentingan politik di
tangan negara-negara arogan. Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh
negara-negara Barat terhadap perempuan dan anak-anak juga harus
diungkap.
4.Pemberian kemudahan dalam hal peningkatan dan pencapaian ilmu kepada
kaum perempuan, karena bagaimanapun juga, kaum perempuan adalah setengah
populasi dunia dan pendidik generasi penerus.
5.Adanya upaya untuk memasukkan permasalahan perempuan kedalam konstitusi di negara-negara Muslim.
6.Adanya upaya untuk menjadikan nilai-nilai Ilahiah sebagai tiang dari sistem sosial.
7.Perhatian yang lebih serius lagi terhadap permasalahan-permasalahan
kaum perempuan di dunia khususnya yang terkait dengan kekerasan dan
woman and children trafficking.
8.Adanya kerjasama di antara berbagai lembaga di berbagai belahan dunia
Islam dengan tujuan terjadinya pertukaran informasi dan pendekatan
budaya sehingga akan terwujud kesamaan budaya yang dilandaskan kepada
nilai-nilai etika Islami.
Masyarakat madani dan demokrasi adalah dua entitas yang korelatif dan
saling berkaitan. Masyarakat madani dipahami sebagai akar dan awal
keterkaitannya dengan demokrasi. Hubungan masyarakat madani dengan
demokrasi, bagaikan dua sisi mata uang keduanya bersifat koeksistensi.
Hanya dalam masyarakat madani yang kuatlah demokrasi dapat ditegakkan
dengan baik dan hanya dalam suasana demokratislah civil society dapat
berkembang secara wajar.
Selain peranan yang telah disebutkan diatas, terdapat pula kendala yang
dihadapi masyarakat muslim dalam menghadapi isu demokrasi dan HAM.
Permasalahan pokok yang masih menjadi kendala saat ini adalah kemampuan,
eksistensi dan konsistensi umat islam. Selain itu juga dikarenakan oleh
sampai saat ini masyarakat muslim di Asia dan Afrika masih harus
berjuang dalam menghadapi persoalan-persoalan serius, seperti
kemiskinan, ketidakadilan, ketidaktoleran, kerakusan ekonomi,
ketimpangan sosial, politik dan budaya serta kelesuan intelektual yang
disebabkan oleh kekuasaan otoriter, ketiadaan stabilitas politik dan
peminggiran hak-hak politik rakyat muslim.
Oleh karena itu peran pembenahan orang-orang islam dalam melakukan suatu
perjuangan moral dewasa ini adalah melakukan pembenahan-pembenahan
kedalam tubuh umat muslim untuk menghapuskan kemiskinan, menciptakan
keadilan sosial dan demokrasi serta merangsang kemajuan intelektual
umat. Umat islam harus berprestasi dan berperan dalam mewujudkan tatanan
sosial-politik yang demokratis dan sistem ekonomi yang adil. Hal itu
penting, karena keduanya merupakan prasyarat utama bagi terciptanya
kesejahteraan sosial, dan kondisi sosial yang dicirikan oleh budaya yang
beragam, hubungan timbal balik dan kesediaan untuk saling memahami dan
saling menghargai.
Keterbatasan civil society terletak pada adanya otoritas dan kewenangan
dari pemerintah yang seringkali mengabaikan isu hak asasi manusia demi
menjaga stabilitas politik. Peran organisasi hanya sebatas menekan
pemerintah, tanpa bisa mengimplementasikan apa yang menjadi tuntutan
mereka. Dalam konflik internasional, peran organisasi tidakk serta merta
dapat terjun langsung dalam menengahi konflik tersebut. Peran mereka
dibatasi oleh asas kedaulatan yang dimiliki oleh setiap Negara, dan
hanya mungkin dilakukan jika Negara mengizinkan adanya intervensi dari
pihak luar untuk menangani konflik yang berkaitan dengan ham tersebut.
Studi Kasus
Ikhwanul Muslimin
Ikhwanul muslmin dan demokrasi
Ikhwanul Muslimin sebagai elemen civil society yang berpengaruh di Mesir
menegaskan bahwa kekuasaan bukanlah tujuan utama Ikhwan. Tujuan mereka
adalah mewujudkan system Islami. kapanpun system ini terwujud dan
siapapun yang memimpin Ikhwan siap mendukungnya. Seiring berjalannya
waktu, IM mulai lembut dan menerima demokrasi sebagai jalan
perjuangannya (bukan tujuan), sebagaimana kelompok-kelompok lain yang
mengakui demokrasi. Maka, Ikhwanul Muslimin mulai mengikuti proses
pemilu di negara Mesir. Kelunakan tersebut terjadi pada 1970-an.
Ikhwanul Muslimin dengan tegas memutuskan untuk berpartisipasi dalam
sistem politik yang ada daripada melakukan revolusi dengan kekerasan;
Ikhwan memanfaatkan demokrasi untuk mengkritik pemerintah, untuk
mencapai tujuannya, atau untuk mendukung perjuangan Islam
sebesar-besarnya.
Menurut Ehsyam Eryan, pasca-tumbangnya rezim Hosni Mubarak, Ikhwanul
Muslimin tumbuh sebagai kekuatan yang hendak memberikan warna lain
terhadap demokrasi. Ikhwanul Muslimin merumuskan sebuah paradigma baru,
yaitu negara modern dengan menjadikan Islam sebagai rujukannya
(al-dawlah al-madaniyyah bi almarja’iyyah al-Islamiyyah). Harus diakui,
bahwa paradigma politik ini telah mengalami metamorfosa dari paradigma
politik yang dikembangkan oleh Hasan al-Banna sebagai pendiri Ikhwanul
Muslimin.
Menurut Muhammad Badi’, Pimpinan Tertinggi Ikhwanul Muslimin, bahwa
paradigma negara demokratis dengan Islam sebagai rujukan utamanya
merupakan implementasi dari ayat al-Quran dalam surat al-An’am ayat
162-163.
Sedangkan hal-hal terperinci dalam kehidupan harus mengacu pada
kepentingan umum yang ditentukan oleh umat dan ahl al-hall wa al-‘aqd,
yang merepresentasikan umat untuk melaksanakan perintah Allah, sesuai
dengan prinsip, “dan bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan
Tuhannya dan mendirikan Shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarat antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki
yang kami berikan kepada mereka.” (QS. as-Syura: 38).
Ikhwanul Muslimin tidak hanya mempresentasikan masyarakat sipil di Mesir
akan tetapi juga sebuah gerakan sosial yang punya tujuan masa depan di
kancah perpolitikan Mesir. IM juga punya peranan besar dalam kancah
perpolitikan Mesir baik dalam membangkitkan semangat nasionalisme Mesir
dan demokratisasi.
Ikhwanul Muslimin sebagai kekuatan yang berkuasa hari ini memiliki
kewajiban besar terhadap masyarakat untuk mengintegrasikan kelompok
kecenderungan yang berbeda dan memberikan representasi yang adil dari
strata sosial yang berbeda.
Ikhwanul Muslimin dan HAM
Ikhwanul Muslimin adalah kelompok yang menjungjung tinggi hak asasi,
mereka melindungi setiap warga negara non-muslim, dan memberlakukannya
seadil-adilnya. Ketika Taufiq Daus Pasha, seorang tokoh Kristen Koptik,
diangkat menjadi anggota Majelis Tinggi Parlemen, IM mengirimkan ucapan
selamat. Daus Pasha menjawab surat tersebut dengan menyatakan
kegembiraannya membaca surat kabar Ihkwan. Ia memuji nasionalisme Ikhwan
yang bebas dari prasangka ras dan perkotakan. Bahkan, dalam salah satu
tulisannya, al-Banna memang menekankan gerakannya tidak fanatic,
“antiprogresif”, juga “bukan partisan” – untuk meyakinkan golongan
minoritas, terutama Koptik akan niat baik mereka.
Nahdlatul Ulama
Peran Nahdlatul Ulama dalam Penegakkan HAM
NU sebagai lembaga sosial kemasyarakatan memiliki peluang, kesempatan
dan potensi untuk mengontrol dan menegakkan hak asasi manusia. HAM dalam
konsep NU merupakan asimilasi antara nilai-nilai hak asasi yang
berkembang di Barat, Islam maupun nilai-nilai ketimuran yang dianut oleh
keindonesiaan. Bagi NU, hak asasi manusia penting demi terciptanya tata
kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih makmur, adil, dan
sejahtera. NU berpendapat bahwa kemaslahatan umat dapat tercapai jika
hak-hak dasar manusia terpenuhi, dimana hak-hak tersebut meliputi hifz
al-nafs (jiwa), hifz al- dîn (agama), hifz al-nasl (keturunan), hifz
al-mâl (harta) dan hifz al-aql (akal) . Manusia merupakan khalifah di
muka bumi dan diciptakan oleh Allah SWT dengan derajat tertinggi,
sehingga manusia harus diperlakukan secara proporsional pada posisi yang
semestinya. Hal itulah yang mendorong perlunya menjamin atas
terpenuhinya hak-hak dasar setiap umat manusia sebagai upaya untuk
mewujudkan kemaslahatan umat.
Namun, penafsiran mengenai masing-masing poin diatas seringkali
menimbulkan pemahaman yang berbeda. Contohnya dalam hifz al din dalam
kehidupan berpolitik. Untuk menjaga stabilitas politik, seringkali
adanya keberpihakan Negara terhadap salah satu agama yang dianggap
dominan, contohnya adanya kepercayaan bahwa sebagai Negara dengan
penduduk muslim terbesar didunia, maka dipastikan bahwa pemimpin
Indonesia haruslah beragama islam, sehingga meminimalkan kesempatan yang
sama terhadap agama lain.
Peran NU sebagai civil society memiliki signifikansi cukup dominan dalam
bidang penegakkan HAM. NU memiliki penafsiran bahwa gerakan HAM yang
digalang oleh NU bukan untuk melengserkan atau melawan pihak oposisi
(yang dalam hal ini berarti Negara), namun untuk menentang pihak-pihak
yang menghalangi penegakkan hak-hak asasi manusi. Contohnya dalam kasus
ahmadiyah, yang menyangkut masalah kebebasan beragama. NU mengadakan
rapat Pleno pada tahun 2005 untuk menjawab desakan sebagian anggota yang
menginginkan dikeluarkannya fatwa haram terhadap organisasi ahmadiyah
tersebut. Hasil rapat tersebut dimenangkan oleh pejuang HAM NU, yang
memutuskan tidak akan menghakimi dan menuduh Ahmadiyah sebagai gerakan
yang sesat dan menyesatkan. Keputusan tersebut dilatarbelakangi oleh
pandangan bahwa kemajemukan bangsa Indonesia dapat terwujud jika Negara
mampu mengakomodir keragaman komunitas beragama dalam masyarakat.
Meskipun demikian, peran NU untuk memperjuangkan ahmadiyah terbatas oleh
otoritas Negara yang memiliki kewenangan untuk menentukan masa depan
Ahmadiyah.
Peran NU lainnya adalah pada masa pemerintahan Gus Dur. Sebagai tokoh
progresif NU, beliau mengungkapkan gagasan bahwa non muslim dapat
menjadi pemimpin Negara serta menerbitkan Keppres No. 6 tahun 2000 yang
mendapat dukungan NU dimana berisi pengakuan terhadap agama Konghucu dan
pemberian jaminan terhadap hak untuk beragama dan beribadah.
NU sebagai kekuatan sipil memiliki andil besar untuk menekan pemerintah
agar dapat memenuhi hak asasi warga. Negara yang tidak menjalankan
kewajibannya untuk menjamin hak-hak asasi rakyatnya, sama halnya
kehadiran negara Indonesia menjadi tidak bermakna. Ada namun tidak
berfungsi, ada namun tidak berbekas. Dalam konteks ini, NU menjadi
penting sebagai institusi yang dapat memaksa agar negara tidak absen
dalam menegakkan hak asasi untuk rakyat yang lebih adil dan sejahtera.
Kontribusi NU terhadap global dapat tercermin dari peran NU terhadap
rekonsiliasi konflik yang menimpa muslim Pattani di Thailand Selatan
pada tahun 2005 lalu . Ketua umum NU pada saat itu, KH Hasyim Muzadi
diminta oleh perdana menteri Thailand Thaksin Shinawatra untuk
memperkenalkan pengajaran islam moderat. Selain itu, Hasyim Muzadi juga
memberikan saran dan solusi yang komprehensif terhadap penyelesaian
konflik ini, dimana meminta pemerintah Thailand untuk menghentikan
tindak kekerasan yang dilakukan militan serta menggunakan instrument
peningkatan pendidikan sebagai langkah awal untuk peningkatan standar
perekonomian warga muslim di Thailand Selatan.
Peran NU lainnya adalah dalam rekonsiliasi konflik di Afghanistan,
dimana NU menjadi wakil Indonesia dalam high peace council di
Afghanistan yang bertujuan untuk melakukan mediasi diantara berbagai
kelompok dan faksi yang bertikai di Afghanistan. Dalam perundingan
tersebut, menghasilkan beberapa poin penting yang meliputi:
1.Menjalin persaudaraan dan perdamaian,
2.Menyelamatkan Afghanistan dari penghancuran kelompok imperialis,
3.Melaksanakan perdamaian dan rekonsiliasi untuk menyatukan negara, dan
4.Sebagai pemimpin spiritual para ulama berkewajiban menjaga keutuhan bangsa, serta
5.Menghilangkan diskriminasi dan sukuisme serta segala bentuk kekerasan terhadap kelompok lain.
Selain itu, NU juga memberikan pemahaman yang lebih luas mengenai jihad,
dimana selama ini akar permasalahan berkembangnya terorisme dan konflik
di Afghanistan adalah akibat adanya pemahaman yang sempit mengenai arti
dari jihad itu sendiri. Dalam penjelasannya, jihad mempunyai pengertian
yang luas, tidak hanya perang tetapi juga membangun mayarakat dan
mengendalikan hawa nafsu. NU sendiri pernah mengeluarkan fatwa jihad
tetapi sangat jelas batas wilayahnya dan batas waktunya. Jihad tidak
bisa dilakukan di sembarang tempat, kalau hal itu dilakukan bisa menjadi
terorisme, itu yang harus dihindarkan.
Seberapa kompatibel ide HAM dalam islam?
Banyak ahli yang berpendapat bahwa islam dan HAM memiliki kesesuaian,
karena HAM sejalan dengan ajaran islam yang paling pokok yaitu Tauhid
(meng-Esa-kan Allah). Dengan begitu makna tauhid disini adalah tidak ada
ketundukan kecuali pada Allah. Ini berarti dalam pandangan tauhid,
semua manusia sama dengan hak-hal asasi (dasar) yang dimilikinya. Selain
itu, menurut para ahli, HAM dipandang sesuai dengan islam juga karena
HAM adalah hak-hak dasar yang diberikan Tuhan dan harus dinikmati
manusia sejak ia dilahirkan tanpa diskriminasi atas dasar ras, warna
kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, status sosial, dan lainnya.
Para tokoh islam dunia juga telah berhasil merumuskan kesesuaian islam
dengan HAM lewat Deklarasi Kairo yang diumumkan tahun 1990. Dalam
deklarasi tersebut dijelaskan bahwa Al-Qur-an dan Hadis mengakui hak-hak
dasar manusia sebagai berikut :
1.Hak persamaan
Hak persamaan ini dijelaskan dalam Al-Qur’an dalam beberapa surat
misalnya: QS. al-Isra: 70, QS an-Nisa: 58, 105, 107, 135, dan QS.
al-Mumtahanah : 8.
QS. al-Isra: 70 yang artinya:
“Dan sungguh kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan kami angkut
mereka didarat dan dilaut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang
baik-baik dan Kami lebihkan mereka diatas banyak makhluk yang Kami
ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.
Bahkan QS. al-Mumtahanah: 8 menekankan keharusan ditegakkannya keadilan,
persamaan, berbuat baik kepada non-muslim sekalipun selama mereka tidak
memerangi.
Dalam QS an-Nisa: 58, 105, 107, 135 ditegaskan persamaan manusia didepan
hukum, dimana para hakim di pengadilan harus menempatkan orang yang
beperkara secara sama dengan menetapkan hukuman kepada orang yang
terbukti bersalah atau menetapkan pihak yang kalah atau menang
berdasarkan bukti-bukti kuat.
2.Hak kebebasan menyatakan pendapat, berkumpul dan berserikat.
Pengakuan islam atas hak ini juga bisa dilihat dari keharusan melibatkan
publik dalam menentukan kebijakan publik yang berada pada ayat QS. ali
Imran: 159, yang artinya:
“Maka berkat rahmat Allah, (engkau) Muhammad berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah
mereka dan memohonkanlah ampunan untuk mereka dan bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila engkau telah
membulatkan tekad , maka bertawakallah kepada Allah, sesungguhnya Allah
mencintai orang yang bertawakal.”
Lalu, ayat-ayat yang mendorong berpikir dalam QS. ali Imran: 190-191 yang artinya
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan
siang terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi yang berakal, yaitu
orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, atau
dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi (seraya berkata): Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan
semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.”
Lalu juga pada QS. al-Anam: 50 dan keharusan ijtihad dalam islam.
Bahkan dalam Hadis riwayat Ibn Majah dijelaskan bahwa bentuk ijtihad
yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang
zalim.
3.Hak hidup
Hak hidup ini diatur dalam QS. al-Maidah: 45 dan QS. al-Isra:33 dalam
dua ayat tersebut al-Qur’an melarang tindakan pembunuhan, kecuali ada
pemberlakuan hukuman mati bagi pelaku pembunuhan yang disengaja, namun
hukuman mati tersebut dalam syari’ah tradisional bersifat opsional bagi
pihak keluarga yang terbunuh.
4.Hak perlindungan diri
Hak perlindungan diri ini diatur dalam QS. al-Balad: 12-17, yang berarti
Al-Qur’an melindungi manusia dari perbudakan dan kemiskinan
(kelaparan), dan juga menjelaskan pengakuan terhadap perlindungan
nasihat dan kasih sayang. Lalu yang kedua adalah QS.at-Taubah: 6 yang
berarti Al-Qur’an menganjurkan kaum muslimin untuk menjamin keamanan
(perlindungan) bagi non-muslim dan mengantarkan mereka ke tempat aman.
5.Hak kehormatan pribadi
Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, kaum muslimin diperintahkan
untuk menutupi aib orang lain demi menjaga hak untuk hidup terhormat.
Dan juga dalam QS. an-Nur: 4-5 terdapat hukum cambuk sebanyak 80 kali
bagi mereka yang menuduh zina terhadap orang yang bersih. Hukuman ini
diterapkan bagi penuduh yang tidak bisa menghadirkan empat orang saksi,
karena tindakan ini merusak nama baik (kehormata pribadi).
6.Hak berkeluarga
Hak berkeluarga dalam hak asasi manusia di cantumkan dalam QS. an-Nisa: 1 yang artinya:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu seorang diri, dan dari padanya Allah meniptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakan laki-laki
dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasi kamu.”
7.Hak kesetaraan pria dengan wanita
Dalam QS. al-Baqarah: 228, dijelaskan bahwa perempuan mempunyai hak yang
seimbang dalam melakukan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf (baik).
Dan dalam QS. al-Hujurat: 13 menjelaskan persamaan manusia dengan tidak
dibedakan atas dasar kelamin, suku bangsa, dan etnik.
8.Hak anak dari orangtuanya
Dalam QS. al-Baqarah: 233 dijelaskan bahwa setiap anak mempunyai hak
untuk mendapat ASI atau pengganti ASI selama dua tahun, memperoleh
nafkah, semisal makan, minum, pakaian dan tempat tinggal. Dalam Hadis
riwayat Ahmad, Abu Daud dan Hakim dijelaskan bahwa anak-anak memiliki
hak untuk memperoleh pendidikan dirumah dengan diajarkan shalat.
9.Hak mendapatkan pendidikan
Dijelaskan dalam QS. at-Taubah: 122 yang menjelaskan pengakuan Al-Qur’an
terhadap hak untuk belajar agama guna menjaga moralitas manusia. Bahkan
dalam Hadis riwayat Ibnu Majah dari sanad Anas bin Malik, sabda Nabi:
“Mencari ilmu merupakan kewajiban setiap muslim”.
10.Hak kebebasan beragama
Dalam QS. al-Baqarah: 256, Al-Qur’an menyebutkan bahwa tidak ada paksaan
untuk memasuki agama islam. Selain itu pada QS. al-Kafirun: 1-6 juga
menjelaskan bahwa islam membebaskan masing-masing orang untuk
menjalankan ajaran agam bagi masing-masing penganut. Maka pada
prinsipnya, islam selalu membebaskan apakah orang tersebut ingin beriman
atau tidak, tentu hal itu diberikan oleh Tuhan kepada manusia sesuai
pilihan dan resikonya.
11.Hak kebebasan mencari suaka
Dalam QS. an-Nisa: 97, yang artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang dicabut nyawanya oleh malaikat dalam
keadaan menzalimi diri sendiri, mereka (para malaikat) bertanya:
‘bagaimana kamu ini?’ mereka menjawab, ‘Kami orang-orang yang tertindas
di bumi (Mekah)’. Mereka (para malaikat) bertanya ‘Bukankah bumi Allah
itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?’ maka orang-orang
itu tempatnya di neraka Jahannam dan Jahannam merupakan seburuk-buruknya
tempat kembali.”
Hal itu berarti menjelaskan bahwa orang-orang yang tertindas dapat
berhijrah ke tempat lain yang menerimanya, tanpa harus menganiaya
dirinya sendiri dengan mengakhiri hidupnya, karena dengan bunuh diri,
orang-orang tersebut akan mendapat dosa yang besar.
12.Hak memperoleh pekerjaan
Hak memperoleh pekerjaan ini ada dalam QS. at-Taubah: 105 yang merupakan
suruhan untuk bekerja bagi manusia, bahkan dalam QS. al-Baqarah: 286
seseorang hanya akan mendapat pahala dari yang diusahakannya dan
mendapat siksa dari yang dikerjakannya.
13.Hak kepemilikan
Dalam QS. al-Baqarah: 29 dijelaskan bahwa Allah menjadikan segala yang
ada dibumi untuk manusia, namun meskipun begitu, itu adalah penggambaran
secara umum kepemilikan oleh semua manusia, maka dalam QS an-Nisa: 29
dijelaskan bahwa kepemilikan barang oleh seorang manusia boleh dalam
jalan perdagangan dengan dasar suka sama suka di antara manusia itu.
14.Hak tahanan
Dalam QS. al-Mumtahanah: 8, Al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah tidak
melarang manusia berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangi karena agama dan tidak pula mengusir dari negerinya.
Dan sejalan dengan ayat tersebut, dalam Hadis yang sanadnya dari Abu
Musa, Nabi juga menganjurkan untuk membebaskan tahanan yang tidak
bersalah.
Selain itu, ada pengakuan islam terhadap hak bebas dari ketakutan yang
tercantum dalam QS. al-Maidah: 28 yang mengungkapkan bahwa dalam hidup
ini yang ditakuti hanyalah Allah tidak yang lain. Oleh karena itu
melalui ayat ini, manusia dibebaskan dari keharusan takut oleh sesama
manusia atau sesama makhluk Allah.
Namun, meski secara umum islam dan HAM dipandang para ahli,
berkesesuaian, tetapi diakui bahwa ahli tersebut terlalu menekankan sisi
kesesuaia nislam dan HAM, dalam arti apabila HAM dihubungkan dengan
syari’ah tradisional sebagai derivasi dari islam, ada sisi-sisi HAM yang
tidak sesuai dengan islam. Pada Deklarasi Kairo yang disebutkan diatas,
memang para penggagasnya meletakkan HAM di bawah syari’ah. Dalam pasal
24 dan 25 disebutkan bahwa seluruh unsur HAM harus tunduk dibawah
syariah, karena bagi mereka, satu-satunya acuan dalam HAM menurut islam
adalah syari’ah. Ini berarti ada sisi HAM dan syariah yang bertentangan,
tetapi HAM harus tunduk pada syari’ah.
Posisi Arab Saudi dalam memorandumnya mengenai HAM dalam islam tahun
1970 yang mendasarkan pandangannya pada syari’ah memperkuat asumsi bahwa
tidak semua syariah islam sesuai dengan HAM. Tiga butir itu antara
lain, pertama, larangan perkawinan antar perempuan muslim dengan
laki-laki non-muslim dan larangan perkawinan laki-laki muslim dengan
perempuan politeis, hal itu bertentangan dengan pasal 16 UDHR. Kedua,
larangan bagi seorang muslim untuk pindah agama yang bertentangan dengan
pasal 18 UDHR. Ketiga, larangan didirikannya serikat buruh yang
bertentangan dengan pasal 8 International Covenant on Economic, Social,
and Cultural Right. Namun dinilai, pada poin ke-3 tersebut, Arab Saudi
mendasarkannya pada kepentingan politiknya, dan hal itu menjadi alasan
mengapa sampai sekarang Arab Saudi belum menandatangani UDHR.
Daftar Pustaka
Buku dan Jurnal:
Kamil, Sukron. Pemikiran Politik Islam Tematik. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2013.
Ubaedillah dan Abdul Rozak. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education)
Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group. 2010.
Mayer, Ann Elizabeth. Islam and Human Rights: tradition and politics. Colorado: Westview Press, 1999.
Nazari, Tahereh. Peran Kaum Muslimah di Tengah Masyarakat Dunia 2011.
Muhalhil, Jasim. Ikhwanul Muslimin Deskripsi, Jawaban, Tuduhan, dan Harapan. 1996.
Eltaweel, Hand. Civil Society in the Arab World : Case Study of the
Muslim Brotherhood in Egypt. Cairo : American University. 2012.
Al-Husaini, Ishak Musa. Ikhwanul Muslimun : Tinjauan sejarah sebuah Gerakan Islam (Bawah Tanah). Jakarta: Grafiti Pers. 1983.
Ahmad, M. (2010). Nahdlatul Ulama dan Penegakkan Hak Asasi Manusia di Indonesia. RELIGIA Vol. 13, No. 2.
Belum ada tanggapan untuk "Makalah Dunia Islam, Demokrasi dan HAM"
Posting Komentar